Bagaimana Pemerintah Indonesia Mengantisipasi Ancaman Resesi 2023

Muhammad Kemal Farezy Oct 4, 2022 0 Comments
Bagaimana Pemerintah Indonesia Mengantisipasi Ancaman Resesi 2023

Tangerang, BisnisPro.id – Ancaman resesi ekonomi global semakin nyata dan mulai tampak di depan mata. Untuk meredam laju inflasi, bank sentral di berbagai negara telah menaikkan suku bunga acuan secara agresif beberapa waktu belakangan ini.

“Ekonomi dunia akan masuk jurang resesi pada 2023,” jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksikan kondisi tahun 2023 dalam konferensi pers APBN Kita akhir September yang lalu (27/9).

Menurut Menkeu, jika bank sentral di seluruh dunia melakukan peningkatan suku bunga secara cukup ekstrem dan bersama-sama, maka dunia pasti mengalami resesi di tahun 2023. Proyeksi ini dibuat mengacu pada studi Bank Dunia yang terkait dengan kebijakan moneter yang ketat dari bank sentral di berbagai negara.

“Tren kenaikan suku bunga dapat dilihat dari kebijakan bank sentral Inggris yang menaikkan suku bunga sebanyak 200 basis poin (bps) selama 2022. Bank sentral Eropa menaikkan 125 bps, serta bank sentral Amerika Serikat (AS) yang sudah menaikkan 300 bps,” kata Sri Mulyani.

Amerika Serikat, jelas Menkeu, tingkat suku bunga sudah di angka 3,25 persen. Kenaikan sebesar 300 bps ini sebagai respons terhadap inflasi di sana yang mencapaj 8,3 persen.

Bank sentral negara-negara berkembang juga ikut menaikkan suku bunga acuannya. Contohnya, bank sentral Brasil yang menaikkan suku bunga sebesar 450 bps di tahun 2022 dan bank sentral Mexico yang menaikkan 300 bps. Di Asia, bank sentral India menaikkan 140 bps selama 2022. Begitu pun dengan bank sentral Indonesia, Bank Indonesia (BI), yang sudah menaikkan suku bunga acuan 75 bps dan kini berada di angka acuan 4,25 persen.

“Inilah yang sekarang sedang terjadi, kenaikan suku bunga yang dilakukan bank sentral secara cukup cepat dan ekstrem. Hal itu pasti akan memukul pertumbuhan ekonomi,” ungkap Menkeu.

Pelemahan ekonomi, tambah Sri Mulyani, mulai terlihat dari ekspansi purchasing managers index (PMI) manufaktur global. “Indikasinya terus melambat ke 50,3 di Agustus 2022. Hal ini sekaligus menjadi level terendah dalam 26 bulan terakhir,” ujarnya.

Pada Agustus 2022, beberapa negara utama PMI manufakturnya tercatat mengalami kontraksi dibandingkan bulan sebelumnya. Seperti, Eropa yang berada di angka 49,6, lalu China di angka 49,5, serta Korea Selatan di angka 47,6.

Menghadapi ancaman berat yang akan datang, pemerintah, kata Menkeu, akan terus melihat perkembangan yang sangat dinamis tersebut. Negara besar dunia seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, dan China memiliki pengaruh besar dalam kondisi ini. Sementara,  negara-negara besar tersebut sedang dalam suasana dan proses adjustment yang tidak mudah.

Menurut Menkeu, didukung oleh konsumsi, ekspor, dan investasi, perekonomian Indonesia hingga 2022 masih tumbuh cukup resilient atau memiliki kemampuan untuk pulih. “Kita lihat konsumsi masih bagus, ekspor masih sangat kuat, investasi sudah mulai pulih. Untuk kuartal empat tadi saya sampaikan, belanja pemerintah mungkin akan cukup banyak memberikan kontribusi,” jelasnya.

Menghadapi tahun 2023, Indonesia akan menghadapi lingkungan perekonomian yang melemah. “Dalam kondisi seperti itu, pemerintah akan menjaga ekonomi yang resilient tersebut sebagai shock absorber untuk menjaga daya beli masyarakat,” jelas Sri Mulyani.

Soal Ancaman Resesi, OJK Optimis Tapi Realistis

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menyampaikan pandangan yang senada dengan Menkeu Sri Mulyani, mengenai kemungkinan kondisi ekonomi dunia mengalami resesi global. Menurut Mahendra Siregar, resesi global hampir dipastikan akan terjadi.

“Setidaknya di tahun 2023. Atau, bisa lebih cepat dari itu,” kata Mahendra dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan yang berlangsung secara virtual, Senin (3/10/2022).

Namun Mahendra menyebutkan, resesi global tersebut belum dapat diprediksi durasinya dan seberapa besar pengaruhnya terhadap ekonomi Indonesia. “Perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini dan tahun 2023 masih berada pada kisaran 5 persen. Karena itu, kita harus lihat dua kondisi ini dalam perspektif lengkap,” ujarnya.

Saat ini, kata Mahendra, OJK belum dapat memperkirakan seberapa besar kebutuhan kebijakan relaksasi kredit untuk menghadapi situasi krisis itu. Namun, OJK dan lembaga jasa keuangan akan tetap menjaga pertumbuhan yang berkelanjutan dan sesuai sasaran yang ditetapkan pemerintah.

Mahendra optimistis, perkembangan ekonomi Indonesia masih terjaga dalam kondisi yang baik di tengah situasi global yang berat. Ia percaya pertumbuhan dan stabilitas ekonomi Indonesia masih akan terjaga dengan baik.

“Optimisme itu saya rasa kita tempatkan di kondisi realistis. Yaitu kita jaga stabilitas dengan baik dan kebijakan serta fasilitas yang dibutuhkan namun waspada dan pahami risiko transmisi dari ekonomi global yang makin berat,” tegas Mahendra.

Penulis : Cyna Juni

Leave a Reply

Leave a facebook comment

Kurs Hari Ini

Update Covid-19 Hari Ini

Banner Ads