Efisiensi Distribusi BBM Yang Terjangkau Oleh Masyarakat

Dian Ardiansyah Aug 13, 2018 0 Comments
Efisiensi Distribusi BBM Yang Terjangkau Oleh Masyarakat

BisnisPro.Id – Seiring melonjaknya harga minyak dunia, komitmen pemerintah terhadap reformasi penyediaan bahan bakar minyak (BBM) murah seolah tergerus oleh kebijakan-kebijakan populer. Konsekuensinya, saat ini, kerugian Negara ditanggung oleh Pertamina sebagai perusahaan migas nasional. Jika kebijakan-kebijakan ini diteruskan, diperkirakan kerugian Pertamina akan mencapai Rp 30-40 triliun hingga akhir 2018.

Kebijakan BBM murah

Sejak Oktober 2014, di awal pemerintahannya, Presiden Jokowi telah mengungkapkan komitmen terhadap kebijakan-kebijakan reformasi sektor energi, termasuk BBM. Komitmen ini ditunjukkan melalui penetapan kebijakan harga domestik Premium dan Solar yang menyesuaikan harga minyak dunia.

Dalam kebijakan tersebut, premium tidak lagi disubsidi, sementara subsidi tetap untuk solar sebesar Rp 1.000/liter, kemudian menjadi Rp 2.000/liter di 2018. Kebijakan ini dianggap berani karena mempertaruhkan citra pemerintahan pro-rakyat di awal kepemerintahan. Untuk itu, Presiden Jokowi mendapat banyak apresiasi global.

Namun, banyak yang kemudian berpendapat bahwa reformasi tersebut hanyalah pencapaian semu. Kebijakan tersebut berlangsung dan ditetapkan ketika harga minyak dunia anjlok, di bawah US$ 30/barrel di akhir 2014. Sehingga, kebijakan penghapusan subsidi Premium dan pengurangan subsidi tetap solar tidak berdampak pada kenaikan harga jual kedua jenis BBM tersebut di masyarakat. Maka adalah wajar, masyarakat tidak bergejolak dan reformasi subsidi berlangsung aman.

Namun, sejak 1 April 2016, ketika harga minyak dunia mulai merangkak naik, penyesuaian harga jual premium dan solar berhenti dilakukan. Hingga hari ini, premium dan solar dijual rugi pada harga tetap Rp 6.450/liter dan Rp 5.150/liter. Sementara itu, dengan harga minyak dunia mencapai US$ 70/barrel pada 2018 ini, selisih harga ideal dan harga jual di masyarakat ditanggung Pertamina.

Ditambah lagi pada 2016, pemerintah mulai melaksanakan kebijakan BBM Satu Harga. Penerapan kebijakan ini dilakukan untuk mendistribusikan BBM ke seluruh pelosok Indonesia pada harga yang sama. Pemerintah mengklaim bahwa kebijakan ini didasari oleh prinsip energi berkeadilan yang sesuai dengan butir ke-lima Pancasila.

Dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengungkapkan kekhawatirannya setelah kunjungan ke Jayapura, di mana harga premium dan solar tembus pada angka Rp 100.000/liter. Sementara di kota-kota besar lainnya di Indonesia, harga premium dan solar hanya di bawah Rp 7.000/liter. Kekhawatiran Presiden Jokowi dapat dipahami, namun menjual BBM jauh di bawah harga keekonomiannya tak pernah bisa dipahami. Kurangnya infrastruktur produksi dan distribusi BBM adalah satu penyebab utama melangitnya harga BBM di beberapa wilayah Indonesia.

Maka, alih-alih harus membayar kerugian Negara dalam bentuk subsidi untuk menyamakan harga jual domestik, seharusnya dana tersebut dapat dialokasikan untuk terus membangun infrastruktur pendukung di pedalaman Indonesia. Sehingga dengan begitu, harga BBM se-Indonesia raya dapat menjadi seragam secara organik berdasarkan keekonomiannya.

Kondisi semakin parah kala Presiden Jokowi menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) No.43 Tahun 2018 yang memuat kewajiban penyediaan premium di Stasiun Pengisian Bahan-bakar Umum (SPBU) seluruh Indonesia, melalui skema Premium Penugasan. Perpres ini muncul atas desakan masyarakat terhadap kelangkaan premium di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) yang memuncak menjelang Idul Fitri 2018. Sementara Perpres No.191 Tahun 2014 sebelumnya menyatakan ketidakwajiban SPBU untuk menjual premium di wilayah Jamali, maka adalah wajar Pertamina mengurangi suplai premium di Jamali akibat skema jual rugi.

Dampak jangka panjang

Pada dasarnya, menjual BBM yang bersumber dari energi fosil di bawah harga keekonomian akan menyebabkan economic inefficiency. Dalam hal ini, economic inefficiency dapat diamati dalam beberapa fenomena.

Pertama, kebijakan-kebijakan distribusi BBM yang menyebabkan penjualan BBM di bawah harga keekonomian akan diikuti oleh melonjaknya permintaan BBM murah, dan berujung pada konsumsi berlebihan. Tak mengherankan sejak 2012 hingga 2016, pertumbuhan konsumsi BBM Indonesia naik sekitar 0,0001 barel per hari per kapita per tahun.

Sementara produksi minyak Indonesia terus menurun, maka konsumsi terus meningkat. Sejak 2004, Indonesia telah menjadi net oil importer. Sejak itu, konsumsi minyak dalam negeri untuk pertama kali melampaui produksinya. Di Desember 2017, tercatat produksi minyak Indonesia adalah 0,78 juta barel per hari. Sementara itu, konsumsi minyak mencapai 1,65 juta barel per hari.

Sementara penjualan minyak dalam negeri tidak mencerminkan kondisi kelangkaan ini, maka penyediaan BBM murah oleh pemerintah akan terus memicu peningkatan konsumsi BBM per kapita.

Kedua, konsumsi BBM murah berdampak buruk pada lingkungan. Sebagaimana BBM bersumber dari energi fosil, konsumsi BBM secara berlebihan akan meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Dampaknya adalah percepatan efek fenomena perubahan iklim.

Sebagaimana penggunaan energi terbarukan dapat menjadi usaha mitigasi perubahan iklim, namun penyediaan BBM murah menjadi resistensi bagi percepatan inovasi teknologi energi terbarukan dalam negeri. BBM murah membuat teknologi energi terbarukan kurang kompetitif. Sebuah studi yang dilakukan oleh GSI (Global Subsidies Initiatives) mengungkapkan bahwa alokasi subsidi BBM dalam jumlah besar akan menjadi satu faktor penghambat utama bagi Indonesia untuk mencapai target 23% energi terbarukan dalam bauran energi nasional di 2025.

Ketiga, kebijakan distribusi BBM murah nyatanya menjadi beban keuangan bagi negara. Apalagi, ketika pendapatan negara dari industri minyak bumi terus menurun. Sebagaimana telah disebutkan bahwa kebijakan distribusi BBM murah berdampak pada konsumsi berlebihan, maka alokasi anggaran negara untuk subsidi akan terus meningkat. Dari 1994 hingga 2018, alokasi subsidi dalam anggaran belanja negara meningkat dari 2,5% menjadi 7,4%.

Dapat diamati, di semester kedua 2018, pemerintah merevisi anggaran belanja negara untuk subsidi energi, dari Rp 94,5 triliun menjadi Rp 163,5 triliun. Ini menunjukkan, bahwa kebijakan penyediaan BBM murah tidak mungkin terus berlanjut ketika harga minyak dunia merangkak naik, sehingga anggaran negara perlu disesuaikan kembali.

Tanpa disadari oleh masyarakat, nyatanya beban keuangan negara akibat kebijakan-kebijakan ini ditanggung oleh Pertamina. Ini terjadi karena pemerintah belum juga mengompensasi kerugian yang dialami Pertamina akibat penjualan BBM di bawah harga keekonomian. Pertemuan antara Menteri Keuangan, Menteri BUMN, dan Menteri ESDM di Agustus 2018 menyatakan kesepakatan pemerintah untuk membayar utang subsidi ke Pertamina sebesar Rp 20 triliun melalui skema cicilan.

Pada akhirnya, dapat dipahami bahwa BBM murah adalah dambaan seluruh pihak. Namun, ketika penjualan BBM dilakukan di bawah harga keekonomiannya akan membuat masyarakat menderita di kemudian hari. Untuk itu, dukungan masyarakat terhadap reformasi kebijakan distribusi BBM murah sangat diperlukan, begitupun dengan komitmen pemerintah.

Leave a Reply

Leave a facebook comment

Kurs Hari Ini

Update Covid-19 Hari Ini

Banner Ads