Ketimpangan Struktural Ekonomi Kita
“Perbaikan ketimpangan pendapatan (per kapita) atau rasio Gini masih belum merata”
Ditulis oleh: SUNARSIP, M.E., Ak
Pemerintah telah berusaha untuk memperbaiki ketimpangan ekonomi, baik ketimpangan pendapatan (per kapita) maupun ketimpangan secara kewilayahan (spasial). Setidaknya, komitmen tersebut terlihat sejak 2017 lalu di mana pemerintah telah mencanangkan berbagai program bagi penguatan ekonomi kecil.
Namun, sepertinya berbagai upaya ini belum cukup kuat dalam mengurangi ketimpangan tersebut. Secara nasional, angka ketimpangan pendapatan sebagaimana ditunjukkan oleh angka rasio Gini memang memperlihatkan perbaikan.
Per Maret 2018 lalu, angka rasio Gini kita berada di level 0,389 atau membaik dibandingkan dengan posisi September 2017 sebesar 0,391.
Namun demikian, perbaikan angka rasio Gini tersebut tidak terjadi secara merata. Bahkan, di beberapa daerah yang seharusnya menjadi sasaran utama dalam program pengurangan ketimpangan ekonomi justru memperlihatkan kondisi sebaliknya: ketimpangan ekonominya semakin meningkat!
Per Maret 2018 lalu, terdapat 16 provinsi yang dalam setahun terakhir ini justru mengalami kenaikan angka rasio Gini. Sebagai contoh, rasio Gini di Papua Barat dalam setahun terakhir naik dari 0,390 pada Maret 2017 menjadi 0,394 (Maret 2018).
Selain Papua Barat, daerah lain yang mengalami kenaikan rasio Gini dalam setahun terakhir ini adalah Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Banten, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, dan Maluku Utara.
Tidak hanya secara per kapita, tantangan pemerintah dalam program pengurangan ketimpangan ekonomi juga terlihat pada upaya pengurangan ketimpangan secara spasial. Bila kita mengacu pada data yang dikeluarkan BPS, terlihat bahwa posisi Jawa sebagai pemilik pangsa ekonomi (PDB) justru semakin kokoh.
Bila pada 2014, kontribusi (pangsa) ekonomi Pulau Jawa mencapai 57,39 persen terhadap PDB nasional, pada semester pertama 2018 ini telah mencapai 58,65 persen. Sebagai catatan, angka kontribusi ekonomi tersebut dihitung berdasarkan angka produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku (atau diukur berdasarkan PDRB nominal).
Seiring dengan penguatan posisi Jawa dalam percaturan ekonomi Indonesia, kontribusi ekonomi di luar Jawa tentunya menjadi semakin menurun. Penurunan ini terutama dialami oleh Sumatra dan Kalimantan.
Kontribusi (pangsa) ekonomi Sumatra pada semester I-2018 sebesar 21,54 persen terhadap PDB, turun dibanding posisi 2014 sebesar 23,02 persen terhadap PDB. Sementara itu, kontribusi (pangsa) ekonomi Kalimantan turun dari 8,77 persen (2014) menjadi 8,14 persen (semester I-2018).
Hanya Sulawesi yang mengalami kenaikan kontribusi, yaitu dari 5,64 persen (2014) menjadi 6,11 persen (semester I-2018). Sedangkan, Papua & Maluku serta Bali & Nusa Tenggara hanya sedikit mengalami kenaikan kontribusi PDRB.
Realitas ini tentunya perlu menjadi perhatian pemerintah. Sebab, realitasnya, upaya untuk melakukan redistribusi ekonomi tampaknya belum cukup efektif.
Perbaikan ketimpangan pendapatan (per kapita) atau rasio Gini masih belum merata, sedangkan ketimpangan secara spasial justru semakin lebar. Dari perspektif saya, sepertinya memang kebijakan dan program pengurangan ketimpangan ekonomi pemerintah perlu di-review kembali.
Saya berpendapat bahwa lambatnya laju perbaikan ketimpangan ekonomi tidak lepas dari kondisi struktural perekonomian kita. Kondisi struktural tersebut salah satu yang utama adalah ketergantungan ekonomi kita, terutama di daerah, yang masih sangat tinggi pada komoditas (pertanian dan pertambangan).
Dari perhitungan yang saya lakukan, sebagian besar perekonomian di daerah disumbangkan oleh sektor ekonomi komoditas (pertambangan dan pertanian). Kontribusi sektor pertanian dan pertambangan ini memberikan sumbangan di atas 20 persen terhadap PDRB di sebagian besar daerah.
Bahkan, beberapa daerah di antaranya, kontribusi sektor pertanian dan pertambangannya bisa mencapai 40 persen terhadap PDRB-nya.
Sampai dengan semester I-2018, kontribusi sektor pertanian dan pertambangan di Sumatra mencapai sekitar 35 persen terhadap PDRB-nya, Kalimantan sekitar 44 persen, Sulawesi sekitar 26 persen, Maluku dan Papua sekitar 42 persen, serta Bali dan Nusa Tenggara sekitar 20 persen. Hanya Jawa yang kontribusi sektor pertanian dan pertambangan kecil, yaitu sekitar 8 persen terhadap PDRB-nya.
Nah, ketergantungan yang tinggi pada komoditas inilah yang turut menghambat upaya pemerintah menurunkan ketimpangan ekonomi di daerah. Nilai tambah dari ekonomi komoditas sangat rendah, karena hanya dinikmati oleh sebagian kecil kelompok masyarakat kita. Ini mengingat penguasaan lahan pertanian dan pertambangan masih didominasi oleh kelompok pelaku usaha tertentu saja.
Perekonomian daerah yang bergantung pada komoditas juga turut memberikan andil terhadap semakin tajamnya ketimpangan ekonomi secara spasial di Indonesia. Perekonomian daerah menjadi sangat rentan terhadap gejolak, terutama gejolak harga.
Ketika harga komoditas melemah sejak pertengahan 2014, terjadilah gangguan produksi di sejumlah daerah penghasil komoditas. Akibatnya, kinerja perekonomian daerah tersebut menjadi melemah.
Terlambatnya realisasi industrialisasi berbasis pengolahan komoditas (agro industri) di pusat-pusat keunggulan komoditas menyebabkan daerah kita tidak siap mengantisipasi dampak dari pelemahan harga komoditas. Di sisi lain, kinerja perekonomian Jawa dan Sulawesi konsisten tumbuh relatif tinggi.
Nah, kombinasi dari pelemahan kinerja ekonomi di daerah yang bergantung pada komoditas dan penguatan ekonomi daerah non-komoditas (Jawa dan Sulawesi) inilah yang akhirnya meningkatkan ketimpangan ekonomi secara spasial.
Saya berpendapat, salah satu kunci utama bagi upaya pengurangan ketimpangan ekonomi adalah dengan memperbaiki problem struktural tersebut. Pemerintah perlu mendorong agar terjadi realokasi sumber daya ekonomi, baik secara pendapatan maupun spasial.
Kebijakan afirmatif menjadi patut dipertimbangkan untuk dijalankan. Dari perspektif sektoral ekonomi, kebijakan afirmatif ini perlu diwujudkan dengan cara mendorong kembali kinerja sektor industri.
Sektor industri yang dimaksud adalah industri berbasis komoditas (resoursed based-industry) yaitu industri yang mengolah komoditas unggulan kita (pertanian dan pertambangan) menjadi produk hilir yang memberikan nilai tambah besar. Kemudian, dari sisi pelaku usaha industri, kita perlu mendorong agar semakin banyak industri mikro dan kecil yang terlibat dalam kegiatan resoursed based-industry tersebut.
Mengapa sektor industri yang dipilih sebagai sasaran kebijakan afirmatif sektoral? Pertama, sektor ini melibatkan banyak pelaku ekonomi sehingga akan banyak membuka lapangan kerja. Kedua, realitasnya kini sedang terjadi gejala deindustrialisasi.
Gejala deindustrialisasi ini terlihat dari kontribusi sektor industri terhadap PDB yang terus menurun, dari 21,76 persen (2011) menjadi 20,04 persen (semester I-2018). Ketiga, fakta memperlihatkan bahwa penurunan kinerja sektor industri berbanding lurus dengan perlambatan kinerja pertumbuhan ekonomi nasional.
Oleh karena itu, bila kita ingin mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi, perbaikan kinerja sektor industri menjadi mutlak. Tentunya, sektor industri yang dikembangkan adalah seperti yang saya maksud di atas.
No Comments