Divestasi Saham Freeport, Apa yang Sebenarnya Terjadi ?

Dian Ardiansyah Jul 18, 2018 0 Comments
Divestasi Saham Freeport, Apa yang Sebenarnya Terjadi ?

BisnisPro.id – Penandatanganan Head of Agreement (HoA) ini dinilai tidak transparan kepada rakyat dan dinilai hanya mengatur hal teknis untuk peraturan teknis selanjutnya dikemudian hari.

Meskipun pemerintah sudah menjelaskan kepada publik terkait tatacara proses negosiasi yang sudah dilakukan namun masih dinilai ambigu dan tidak jelas.

Publik yang mengikuti proses ini secara detail berpendapat bahwa arah pemerintah dalam divestasi ini tidak jelas. Antara ingin membeli hak (participation interest) Rio Tinto atau dilain hal seperti ingin melakukan akuisisi langsung saham Freeport Indonesia. Keterangan pemerintah yang dibuka kepada publik terkait HoA harusnya dibuka setransparan mungkin dan jelas kemana arahnya agar tidak menimbulkan kegaduhan publik terkait isu ini. Rencana akuisisi ini terkait pembelian saham Freeport melalui Indocooper Investama dari Freeport.

Giri Ahmad Taufik, Pengajar STH Jentera Indonesia dan Kandidat PhD Griffith University Law School Australia Memiliki pendapat bahwa, “fakta penting terkait sistem Rio Tinto ini, yaitu Pertama Rio Tinto bukanlah sesuatu yang bisa diartikan sebagai kepemilikan saham. Hal ini menjadi kontradiksi mengingat bahwa Undang-Undang tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) mempunyai amanat divestasi saham dilakukan oleh perusahaan tambang penerima konsesi dalam hal ini Freeport Indonesia.

Kedua, penting bagi pemerintah untuk mementingkan urusan khalayak banyak dalam hal ini rakyat Indonesia dalam mempertimbangkan perjanjian dengan Freeport. Transparansi yang sangat terbuka dan tidak menimbulkan ambiguitas di kalangan khalayak ramai.”

Hak Rio Tinto

Hak Rio Tinto dinilai sebagai langkah yang sudah sangat optimal yang bisa dilakukan pemerintah. Giri menilai ada hal rasional dalam kebijakan ini bahwa akuisisi langsung Saham Freeport tidak membuat seakan-akan langsung menguasai porsi terbesar dari produksi tambang.

60 persen dan 40 persen perbandingannya. Dan ujung-ujungnya tidak optimal. Hak Rio Tinto merupakan sistem Joint Venture (JV ) yang distrukturkan secara kontraktual.

Secara sederhana, Freeport mcmoran mengijonkan 40 persen hasil produksi kepada Rio Tinto. Untuk menopang pembiayaan. Oleh karna itu 40 persen yang dimaksud bukan merupakan kepemilikan saham tetapi 40 persen hasil produksi.

“Membeli hak Rio Tinto bukan Berarti membeli 40% saham Freeport Indonesia. Giri menambahkan bahwa, penguasaan hak partisipasi juga merupakan bentuk kontrol langsung dari pengertian dikuasai negara.” ungkap Giri.

Dalam situasi ini, menjadi penting untuk melenturkan pembacaan terhadap kewajiban divestasi di UU Minerba dengan mengontekskannya ke dalam filosofi yang lebih luas terkait dengan divestasi sebagai implementasi Pasal 33 UUD 1945. Hakikat dasar dari dikuasai negara tidak terbatas pada penguasaan kontrol pada perusahaan yang diberikan konsesi semata, tetapi lebih dari itu konteks kontrol lebih menitikberatkan pada kontrol terhadap hasil tambang.

“Saya berpendapat, penguasaan hak partisipasi juga merupakan bentuk kontrol langsung dari pengertian dikuasai negara, di samping juga model penguasaan saham dari perusahaan pemegang konsesinya.” ujar Giri.

Selain itu, struktur JV pada umumnya selalu memuat klausul bagi pihak pemegang hak partisipasi untuk turut serta dalam pengambilan keputusan strategis sehingga secara tidak langsung pemegang hak partisipasi juga memiliki kontrol terhadap perusahaan pemegang konsesi.

Tampaknya juga pemerintah hanya menggunakan ini sebagai strategi antara, di mana pemerintah akan mengubah JV kontraktual ini menjadi JV entitas, di mana hak partisipasi yang dibeli akan dikonversikan menjadi saham di dalam Freeport Indonesia.

 

Keterbukaan total

Namun yang terpenting adalah mendorong transparansi secara maksimal. Perlu dicatat bahwa divestasi saham Freeport Indonesia bukan baru pertama kali ini dilakukan. Sebelumnya Freeport Indonesia telah melakukan divestasi pada akhir tahun 1991, sebesar 10 persen, kepada entitas Indonesia. Proses divestasi itu diwarnai pencarian rente, yang dilakukan.

“Ironisnya, tujuan divestasi menjadi gagal karena ujung akhir dari akrobat pencarian rente ini adalah kembalinya saham yang sudah didivestasikan kepada Freeport McMoran melalui kepemilikan saham di Indocopper Investama. Tentu saja proses yang lalu harus menjadi pelajaran penting bagi divestasi kali ini.”, Pungkas Giri.

Dapat dibayangkan pemerintah/Inalum akan mencari pembiayaan yang cukup signifikan untuk menutupi biaya pembelian saham Indocopper dan hak partisipasi Rio Tinto yang mencapai 3,85 miliar dollar AS. Hal ini tentu melibatkan skema yang rumit di antara banyak pihak.

Pada wilayah inilah pemerintah harus terbuka secara total melakukan penjelasan mengenai, antara lain, opsi yang diambil, siapa saja yang terlibat, bagaimana keterlibatannya. Keterbukaan ini untuk menghindari praktik pencarian rente yang merugikan rakyat Indonesia.

Hal yang harus diingat oleh Freeport McMoran dan perusahaan lain dengan investasi jangka panjang adalah strategi membeli patronase politik pada era demokrasi di Indonesia saat ini bukan strategi yang tepat, karena penguasa datang dan pergi melalui pemilihan umum.

Terlebih dengan kuatnya institusi pemberantasan korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan adanya Foreign Corrupt Practice Act di banyak negara maju—yakni undang-undang yang melarang perusahaan-perusahaan dari negara-negara tersebut untuk melakukan penyuapan atau korupsi di negara di luar negara mereka—yang membuat risiko yang ditempuh tidak sebanding dengan hasil yang ingin dicapai.

Diharapkan pengalaman Freeport pada divestasi 1991 yang lalu dengan tunduk pada tekanan pencari rente yang dekat dengan kekuasaan tidak boleh terulang kembali.

 

Leave a Reply

Leave a facebook comment

Kurs Hari Ini

Update Covid-19 Hari Ini

Banner Ads